Selasa, 29 April 2008

Pembayaran Upah Buruh dalam Proses Kepailitan

Idealnya, begitu upah tidak dibayarkan, saat itu pula buruh harus segera menuntut haknya. Ketika perusahaan mengalami krisis finansial dan kondisi tersebut terjadi hingga bertahun-tahun lamanya, maka semakin tak jelas pula nasib mereka yang bekerja di perusahaan tersebut.

A. Pengantar

Proses kepailitan pada umumnya adalah proses panjang yang melelahkan. Di satu sisi akan banyak pihak (kreditor) yang terlibat dalam proses tersebut, karena pihak debitor yang dipailitkan pasti memiliki utang lebih dari satu, sedang di sisi lain, belum tentu harta pailit mencukupi, apalagi dapat memenuhi semua tagihan yang ditujukan pada debitor. Masing-masing kreditor akan berusaha untuk secepat-cepatnya mendapatkan pembayaran setinggi-tingginya atas piutang mereka masing-masing. Kondisi tersebutlah yang melatarbelakangi lahirnya aturan-aturan yang mengikat di dalam proses kepailitan, yang mengatur pembagian harta pailit di bawah kendali kurator disertai pengawasan hakim pengawas.[1]

Meski begitu, adanya aturan-aturan dalam proses kepailitan, belum jelas mengatur posisi buruh yang perusahaannya dinyatakan pailit. Buruh pada prinsipnya berhak atas imbalan dari pekerjaan yang telah mereka kerjakan. Tagihan semacam ini bahkan telah secara tegas dinyatakan sebagai utang yang lebih didahulukan pembayarannya daripada utang-utang lainnya.[2] Pertanyaannya, seberapa dahulukah posisi utang tersebut?


Yang tak kalah menarik, apabila harta pailit ternyata tidak mencukupi. Apa yang bisa digunakan untuk membayar upah buruh dalam kondisi seperti ini? Sekalipun hak pesangon telah dijamin oleh undang-undang,[3] namun, itu pun masih tergantung pada mampu tidaknya majikan (kurator sebagai pengurus harta pailit) membayarkan uang pesangon tersebut.[4] Apakah posisi buruh dalam proses kepailitan telah cukup terjamin?


Dalam tulisan ini, kami akan membahas permasalahan tersebut. Dari pembahasan posisi masing-masing kreditor dalam proses kepailitan, masalah pembayaran upah buruh, konsekuensi keadaan insolvensi yang parah (nilai utang jauh lebih besar dari harta kekayaan) pada buruh, serta beberapa alternatif penyelesaian masalah.


B. Kreditor Separatis, Kreditor Preferen dan Kreditor Konkuren
Secara teoretis, kreditor dapat dibedakan menjadi 2 jenis: (1) kreditor dengan jaminan (secured creditor) yang terdiri dari pemegang hak gadai dan atau fidusia (jaminan benda bergerak), serta pemegang hak tanggungan dan atau hipotek (jaminan benda tidak bergerak); dan (2) kreditor tanpa jaminan (unsecured creditor) yang dapat memiliki hak istimewa (baik umum, maupun khusus) ataupun tidak.

Di dalam proses kepailitan sendiri, dikenal tiga macam kreditor, yaitu kreditor separatis, kreditor preferen dan kreditor konkuren.[5] Pembedaan menurut UU No. 37/2004 tersebut, berhubungan dengan posisi kreditor bersangkutan dalam proses pembagian harta pailit.

“Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya” atau kreditor dengan jaminan, disebut kreditor separatis, karena, berdasarkan pasal 55 ayat 1 UU No. 37/2004,[6] kreditor tersebut berwenang untuk mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Separatis di sini berarti terpisahnya hak eksekusi atas benda-benda yang dijaminkan dari harta yang dimiliki debitor yang dipailitkan. Dengan begitu, kreditor separatis mendapatkan posisi paling utama dalam proses kepailitan, sehubungan dengan hak atas kebendaan yang dijaminkan untuk piutangnya. Sepanjang nilai piutang yang diberikan oleh kreditor separatis tidak jauh melampaui nilai benda yang dijaminkan dan kreditor berkuasa atas benda itu, maka proses kepailitan tidak akan banyak berpengaruh pada pemenuhan pembayaran piutang kreditor tersebut. Apalagi, kalau pembayaran cicilan utang secara berkala juga telah dipenuhi oleh debitor.

Menurut UU No. 37/2004, apabila kuasa atas benda yang dijaminkan ada pada debitor pailit atau pada kurator, maka hak eksekusi terpisah tersebut di atas, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak pernyataan pailit dijatuhkan (pasal 56 ayat 1). Sedang apabila nilai eksekusi benda tertentu tersebut ternyata tidak cukup untuk menutup utang debitor, maka kreditor separatis dapat meminta dirinya ditempatkan pada posisi kreditur konkuren untuk menagih sisa piutangnya.[7]

Demi kepastian hukum, hak eksekusi langsung yang dimiliki oleh kreditor separatis hanya bisa digunakan dalam jangka waktu 2 bulan setelah terjadinya keadaan insolvensi.[8] Setelah lewat jangka waktu tersebut, eksekusi hanya dapat dilakukan oleh kurator, meskipun hak yang dimiliki kreditor separatis (sebagai kreditor dengan jaminan) tidak berkurang.[9] Perbedaan proses eksekusi tersebut akan berakibat pada perlu tidaknya pembayaran biaya kepailitan dari hasil penjualan benda yang dijaminkan.[10]

Kreditor preferen berarti kreditor yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas. UU No. 37/2004 memakai istilah hak-hak istimewa, sebagaimana diatur di dalam KUH Perdata.[11] Hak istimewa mengandung arti “hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya”.[12]

Menurut KUH Perdata, ada dua jenis hak istimewa, yaitu hak istimewa khusus (pasal 1139) dan hak istimewa umum (pasal 1149). Hak istimewa khusus berarti hak istimewa yang menyangkut benda-benda tertentu, sedang hak istimewa umum menyangkut seluruh benda. Sesuai dengan ketentuan KUH Perdata pula, hak istimewa khusus didahulukan atas hak istimewa umum (pasal 1138).

Meskipun memiliki keistimewaan dibanding hak-hak yang dimiliki orang berpiutang pada umumnya, posisi pemegang hak istimewa pada dasarnya masih berada di bawah pemegang hak gadai atau hipotek[13] sehubungan dengan benda-benda yang dijaminkan. Ada beberapa perkecualian untuk urutan tersebut, seperti misalnya, biaya-biaya perkara[14] atau tagihan pajak.[15]

Kreditor konkuren atau kreditor biasa adalah kreditor pada umumnya (tanpa hak jaminan kebendaan atau hak istimewa). Menurut KUH Perdata, mereka memiliki kedudukan yang setara dan memiliki hak yang seimbang (proporsional) atas piutang-piutang mereka.[16] Ketentuan tersebut juga dinamakan prinsip ‘paritas creditorium’.

Sehingga dapat disimpulkan, posisi pemegang hak jaminan kebendaan (kreditor separatis) pada dasarnya lebih tinggi dari pemegang hak istimewa (kreditor preferen) untuk benda-benda yang dijaminkan, dengan beberapa perkecualian, seperti biaya-biaya perkara atau tagihan pajak. Sedang posisi dua jenis kreditor tersebut berada di atas posisi kreditor konkuren atau kreditor biasa yang menunggu pembagian pembayaran tagihan secara merata dari harta pailit menurut prinsip keseimbangan. Apabila tagihan kreditor separatis ternyata lebih tinggi dari nilai piutang mereka, maka mau tidak mau mereka harus menagih sisa piutangnya sebagai kreditor konkuren. Dengan kata lain, posisi mereka menjadi di bawah posisi kreditor preferen.

C. Pembayarah Upah Buruh

Tagihan pembayaran upah buruh dikategorikan sebagai hak istimewa umum.[17] Ketentuan tersebut juga diatur di dalam pasal 95 ayat 4 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur:

“Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.”

Meskipun tidak jelas seberapa tinggi utang tersebut harus didahulukan, namun, paling tidak telah tersurat adanya keistimewaan untuk hak atas pembayaran upah buruh. Artinya, sebelum harta pailit dibagikan kepada kreditor konkuren, maka tagihan yang diajukan oleh pihak-pihak pemegang hak istimewa harus dipenuhi lebih dahulu.

UU No. 37/2004 mengatur bahwa “sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum, maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit” (pasal 39 ayat 2). Dengan sendirinya, kurator wajib untuk mencatat, sekaligus mencantumkan sifat (istimewa) pembayaran upah yang merupakan utang harta pailit dalam daftar utang piutang harta pailit.[18] Daftar tersebut harus diumumkan pada khalayak umum[19], sebelum akhirnya dicocokkan dengan tagihan yang diajukan oleh kreditor sendiri.[20]

Apabila kemudian ada perselisihan, karena beda antara daftar kurator dan tagihan kreditor, maka Hakim Pengawas berwenang untuk mendamaikan. Apabila perselisihan tetap belum selesai, maka perselisihan tersebut harus diselesaikan melalui pengadilan.[21]

Sekilas, posisi tawar buruh dalam memperjuangkan pembayaran upahnya sudah cukup kuat, karena (1) tagihan pembayaran upah pekerja adalah tagihan yang diistimewakan, (2) telah ada pengakuan undang-undang bahwa pembayaran upah menjadi utang harta pailit dan (3) apabila terjadi perbedaan antara hitungan pekerja dan daftar yang dikeluarkan oleh kurator, ada peran instansi pengadilan yang akan menengahi permasalahan tersebut. Artinya, posisi preferen (didahulukan) yang dimiliki oleh buruh tidak dapat begitu saja didahului. Meski begitu, ada beberapa kondisi di mana buruh tidak mendapatkan hak atas pembayaran upahnya.

Kondisi pertama; ketika terjadi insolvensi parah. Artinya, tidak ada lagi biaya yang dapat dibayarkan dari harta pailit atau harta pailit hanya cukup untuk membayar biaya-biaya perkara dan tagihan pajak. Dalam kondisi tersebut, mau tidak mau, pekerja tidak akan mendapatkan apa-apa.

Kondisi ke dua; ketika harta pailit hanya berupa benda-benda yang dijaminkan kepada kreditor separatis. Apabila nilai tagihan kreditor separatis melampaui nilai benda-benda yang dieksekusi, maka otomatis tidak ada lagi yang tersisa dari harta pailit. Namun, apabila nilai eksekusi dapat menutup piutang pemegang hak jaminan, maka sisanya masih dapat dibagi. Tentu saja, posisi buruh ada di bawah biaya-biaya perkara (termasuk upah kurator) dan tagihan pajak.

Selain ke dua kondisi tidak menguntungkan di atas, masih ada beberapa masalah teknis yang bukan tidak mungkin dapat merugikan posisi buruh, seperti kurang transparannya proses penentuan daftar urutan dalam pembagian harta pailit, serta kurang berfungsinya kurator dan hakim pengawas. Belum lagi, pihak-pihak yang berkepentingan belum tentu tahu tentang proses penyelesaian perselisihan terkait penentuan daftar pembagian harta pailit melalui pengadilan.

Bagaimanapun juga, belum ada alat hukum yang dapat menyelamatkan nasib pekerja, saat tagihan pembayaran upah tidak terpenuhi atau hanya terpenuhi sebagian kecilnya saja. Mengingat kondisi pekerja di Indonesia yang secara ekonomis sangat rentan dan nafkah hidupnya sangat bergantung pada pekerjaan yang dimilikinya, maka harus ada instrumen pendukung yang dapat menyelamatkan nasib mereka. Di bawah ini ada beberapa alternatif penyelesaian yang mungkin digunakan.

D. Hak Buruh vs. Hak Jaminan
Pilihan untuk menghapus sistem hak jaminan kebendaan berangkat dari premis bahwa dengan adanya eksekusi terpisah, maka tidak akan ada lagi harta pailit yang dapat digunakan untuk membayar upah atau setidaknya harta pailit akan banyak berkurang. Meski begitu, alternatif ini akan berakibat pada hukum jaminan secara keseluruhan.

Hak jaminan kebendaan lahir dari perikatan penjaminan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perikatan yang timbul akibat perjanjian utang piutang dengan jaminan. Karena ada hubungan tak terpisahkan (ketergantungan) antara dua perikatan tersebut, maka hak jaminan memiliki dua karakter, yaitu (1) didahulukan untuk pemenuhan perjanjian yang melekat pada penjaminan benda tersebut (droit de preference), serta (2) dengan adanya ketergantungan tersebut pula, maka hak atas jaminan akan selalu melekat pada (mengikuti) benda yang dijaminkan (droit de suite.) Sehingga, selama hubungan utang piutang belum diakhiri (utang dibayar), maka selama itu pula hak jaminan tetap ada.

Dihapuskannya sistem hukum jaminan akan berakibat pada rusaknya sistem perkreditan. Tanpa adanya jaminan tertentu diberikan, maka kreditor tidak akan mau meminjamkan uangnya. Tentu, pada akhirnya hal tersebut juga akan berpengaruh pada usaha penciptaan lapangan kerja. Sehingga, pilihan tersebut bisa dikata tidak realistis dan juga tidak menyelesaikan masalah.

Hal yang mungkin bisa diperbaiki lagi, adalah peran kurator dalam menyikapi hak-hak jaminan kebendaan yang melekat pada harta pailit. Apabila nilai jual benda yang dijaminkan lebih besar dari nilai kredit yang (mungkin) telah diangsur sebagian, maka akan menguntungkan untuk membayar sisa kredit yang masih terutang.

Selain itu juga, penerapan prinsip 5C: Character (watak); Capacity (kemampuan); Capital (modal); Conditions (keadaan); dan Collateral (jaminan), perlu benar-benar diperhatikan secara seksama dalam pemberian kredit. Nilai besaran jaminan seharusnya, selain melindungi resiko kreditur, juga mempertimbangkan kepentingan pelaksanaan pembayaran upah buruh jika kepailitan terjadi.

E. Meningkatkan Pengawasan Proses Kepailitan

Dalam proses kepailitan, kurator dan hakim pengawas memegang peran yang menentukan. Dari pengurusan harta pailit, penentuan daftar urutan pembagian melalui rapat kreditor, hingga pemberesan harta pailit saat terjadi keadaan insolvensi; itu semua membutuhkan kecermatan dan ketelitian kurator dan hakim pengawas.

Pada posisi yang menentukan, tentu obyektivitas dan integritas ke dua aktor tersebut harus tetap terjaga. Masalahnya, dua hal ini pula yang juga membuka ruang konflik, karena adanya ketidakpuasan pihak-pihak kreditor terkait. Namun begitu, sebenarnya undang-undang juga telah menyediakan solusi untuk menyelesaikan konflik tersebut. Selain tuntutan pada kurator yang dianggap merugikan harta pailit,[22] kreditor yang tidak sependapat dengan daftar urutan pembagian yang dibuat kurator dapat pula menuntut pengadilan untuk memutuskan, apabila ternyata hakim pengawas tak dapat mendamaikan perselisihan tersebut.[23]

Kendala-kendala yang barangkali dihadapi dalam menjalankan alternatif penyelesaian tersebut, selain ketidaktahuan pihak-pihak kreditor akan status utang mereka, juga disebabkan oleh kekurangcakapan kurator dan hakim pengawas. Usaha perbaikan yang bisa dilakukan, adalah pembuatan buku pegangan (manual) yang bisa menjadi referensi kurator dan hakim pengawas. Training-training atau kursus-kursus praktis yang diselenggarakan secara intensif dan berkelanjutan, juga dapat meminimalisir kendala-kendala tersebut.

Bagaimanapun juga, usaha meningkatkan kinerja kurator dan hakim pengawas, tetap belum sepenuhnya menjawab permasalahan upah buruh yang tidak terbayarkan, akibat harta pailit yang tidak mencukupi. Untuk itu, ke depannya, tidak cukup dengan sistem perlindungan pesangon, namun, harus ada sistem asuransi yang dapat digunakan untuk meminimalisir resiko pekerja kehilangan upahnya akibat kepailitan.

F. Merombak Sistem Jaminan Sosial Nasional

Sistem Jaminan Sosial Nasional diatur di dalam UU No. 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan UU No. 40/2004 tenntang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Selain ke dua peraturan perundang-undangan tersebut, ada pula aturan yang bersifat lebih teknis, seperti Permen No. PER-12/MEN/VI/2007.
Ruang lingkup sistem jaminan sosial menurut UU No. 3/1992 meliputi (1) jaminan kecelakaan kerja, (2) jaminan kematian, (3) jaminan hari tua, (4) jaminan pemeliharaan kesehatan (pasal 6). Dalam UU No. 40/2004 yang lebih baru, hanya ditambahkan (5) jaminan pensiun, sebagai obyek yang diatur dan mendapatkan perlindungan sosial.Dari paparan di atas, kehilangan pekerjaan bukan merupakan resiko yang ikut dijamin. Padahal, dalam kasus perusahaan pailit dengan insolvensi yang parah, akibat yang mesti ditanggung oleh buruh yang kehilangan pekerjaannya tidak kalah serius.
Resiko kehilangan pekerjaan karena pailitnya perusahaan, adalah resiko yang nyata ada di negeri ini. Perusahaan yang pada akhirnya dinyatakan pailit, biasanya merupakan perusahaan yang telah mengalami krisis finansial selama beberapa waktu lamanya. Sehingga, tak jarang pula perusahaan tersebut telah meninggalkan utang pembayaran upah buruh yang juga terkatung-katung lama. Ironisnya, alat remedi (pemulihan hak) yang dimiliki oleh buruh juga tidak banyak berarti. Hal ini disebabkan sifat alat remedi yang baru bisa digunakan belakangan.
Di awal tulisan ini telah dibahas beberapa kemungkinan yang bisa digunakan untuk melindungi posisi buruh dalam proses kepailitan, seperti uang pesangon dan hak untuk didahulukan pembayaran upahnya. Namun begitu, lagi-lagi, dua alat remedi tersebut tergantung pada keadaan harta pailit. Apabila kondisi insolvensi cukup parah, tidak ada lagi yang bisa digunakan untuk menutup utang pembayaran upah buruh. Bahkan, harta pailit belum tentu cukup untuk membayar uang pesangon yang diwajibkan oleh undang-undang.
Untuk itu, jaminan atas pembayaran upah perlu diatur pula di dalam sistem jaminan sosial nasional yang sifatnya antisipatif. Dengan adanya perlindungan asuransi untuk kehilangan pekerjaan, maka buruh tetap akan mendapatkan hak atas upah, melalui santunan dari lembaga jaminan sosial, sekalipun harta pailit telah habis sama sekali.[24] Meski begitu, dengan adanya perlindungan asuransi sekalipun, nilai santunan tetap saja akan terbatas (hanya meliputi nilai upah untuk jangka waktu tertentu). Sehingga, idealnya, begitu upah tidak dibayarkan, saat itu pula buruh harus segera menuntut haknya. Ketika perusahaan mengalami krisis finansial dan kondisi tersebut terjadi hingga bertahun-tahun lamanya, maka semakin tak jelas pula nasib mereka yang bekerja di perusahaan tersebut.

--------------------------------------------------------------------------------

[1]Baca penjelasan UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

[2]Pasal 95 ayat 4 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

[3]Pasal 165 UU No. 13/2003.

[4]Kondisi seperti ini telah beberapa kali terjadi. Salah satunya adalah kasus PT Sindoll Pratama. Harta pailit Sindoll Pratama bernilai Rp. 45,24 miliar. Namun PT Sindoll Pratama memiliki utang kepada Bank BNI sebesar Rp. 38,36 miliar. Sebagai kreditur separatis karena memegang Hak Tanggungan, BNI bertindak lebih dahulu mengeksekusi hak-haknya sehingga tak cukup lagi harta untuk membayarkan upah buruh.

[5]Lihat juga penjelasan pasal 2 ayat 1 UU No. 37/2004: ”Yang dimaksud dengan "Kreditor" dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan.”



[6]Pasal 55 ayat (1) UU No. 37/2004: ”Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.”



[7]Pasal 138 jo. pasal 189 ayat 5 UU No. 37/2004.

[8]Pasal 59 ayat 1 UU No. 37/2004.

[9]Pasal 59 ayat 2 UU No. 37/2004.

[10]Pasal 191 UU No. 37/2004.

[11]Penjelasan pasal 60 ayat 2 UU No. 37/2004.

[12]Pasal 1134 KUH Perdata.

[13]Pasal 1134 KUH Perdata.

[14]Pasal 1149 ayat 1 KUH Perdata.

[15]Pasal 21 ayat 3 UU No. 16/2000 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

[16]Pasal 1136 KUH Perdata.

[17]Pasal 1149 KUH Perdata.

[18]Pasal 102 jo. 100 UU No. 37/2004.

[19]Pasal 103 UU No. 37/2004.

[20]Pasal 116 UU No. 37/2004.

[21]Pasal 127 UU No. 37/2004.

[22]Pasal 72 UU No. 37/2004.

[23]Pasal 127 UU No. 37/2004.

[24]Perlu diperhatikan dalam pengaturan mengenai jaminan sosial ini, yaitu mengenai pihak yang harus menangung beban premi. Jangan sampai pengaturan jaminan sosial ini semakin memberatkan kondisi buruh di Indonesia...
....Oleh: Imam Nasima dan Eryanto Nugroho

Tidak ada komentar:

Posting Komentar